MAKALAH “WADHIH AL-DILALAH DAN WADHIH GHAIR AL-DILALAH “

 MAKALAH

“WADHIH AL-DILALAH DAN WADHIH GHAIR AL-DILALAH “

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II

Dosen Pembimbing : Keras_Kreatif

Disusun Oleh : Keras_Kreatif


Kelas : HES ICP

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS KITA PASTI BISA

2020

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanrrahim

 Segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan beribu-ribu rahmat dan karunia-Nya kepada kami semua dan tak lupa ucapan sholawat serta salam yang kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.

 Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Keras_Kreatif. selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh II yang telah mengajarkan kami ilmu dan tentunya makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna.

 Kami berharap makalah yang kami buat ini bisa menambah pengetahuan serta wawasan kita mengenai Masail Fiqhiyyah Iqtishadiyyah. Oleh sebab itu penting bagi kami adanya kritik dan saran.

Semoga makalah ini dapat dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang membacanya dan juga dapat berguna bagi penulis. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata.

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum dalalat daat diartikan sebagai petunjuk dala memahami sesuatu diatas sesuatu. Selain itu, dalalat biasa juga diartikan sebagai sesuatu yang menunjukkan arti dari suatu lafadz yang dikehendaki ketika diucapkan secara mutlak.

Pengertian dalalat menurut Al-Qur’an dan Hadits sebagaisumber hukum sangatlah banyak didasarkan padaberbagai dalalat lafadz-lafadznya. Menurut ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafadz-lafadz al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahamandalalat al-lafadz dan dalalat ghair al-lafadz. Sedangkan ulama Hanafiyah membagai dalalat al-lafdzi kepada empat macam yang berbeda tingkatannya, yaitu: ibarat al-nash, isyarat al-nash, dalalat al-nashdan iqtidha’ al-nash. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dilakukan dengan melalui pemahaman dalalat al-manthuq dan dalalat al-mafhum. Oleh ulama Syafi’iyyah dalalat mafhum dibagi kepada dua macam, yaitu; mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah

Dalam makalah ini, penulis membatasi permasalahan pada masalah dalalah secara garis besar yang mana dari segi kejelasan artinya terbagi menjadi dua macam, yaitu Wadhih Al-Dilalah (واضح ) الدلالةdan Wadhih Ghair Al-Dilalah ( واضح غير ) الدلال

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu Wadhih Al-Dilalah?

1.2.2 Apa saja macam-macam Wadhih Al-Dilalah?

1.2.3 Apa itu Wadhih Ghair Al-Dilalah?

1.2.4 Apa saja macam-macam Wadhih Ghair Al-Dilalah?

1.3 Tujuan Pembahasan

1.3.1 Mengetahui Wadhih Al-Dilalah

1.3.2 Mengetahui macam-macam Wadhih Al-Dilalah

1.3.3 Mengetahui Wadhih Ghair Al-Dilalah

1.3.4 Mengetahui macam-macam Wadhih Ghair Al-Dilalah

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Wadhih Al-Dilalah

Secara umum dalalah diartikan sebagai ’memahami sesuatu atas sesuatu’. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut dengan “madlul” atau yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, lafadz yang disebut madlul itu merupakan hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua disebut dalil atau yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dengan dalil hukum.

Dalalah menurut bahasa adalah menuju maksud tertentu. Dalam ilmu Usul Fiqh ditegaskan bahwa dalalah merupakan pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Dengan kata lain yaitu petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu. Petunjuk lafaz atau dalalah ini memiliki beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama usul fiqh tidak sependapat dalam membaginya.

Ada beberapa tingkatan lafadz (dalalah) dari sisi kejelasannya. Tingkatan ini ditinjau dari mungkin dan tidaknya untuk dapat dita’wil. Ketika terdapat suatu lafadz yang tidak perlu ditakwil, maka dalil tersebut terletak pada tingkatan teratas dari segi

kejelasan maknanya. Hal ini disebut al-Muhkam atau yang ditentukan hukumnya. Sedangka apabila terdapat suatu lafadz yang tidak perlu untuk dita’wil akan tetapi dapat dinaskh, maka dinamakan mufassar atau yang ditafsirkan. Apabila terdapat suatu lafadz yang menerima ta’wil, takhsis dan naskh, akan tetapi susunan makna dan maksudnya dapat dipahami dari lafadz tersebut, maka dinamakan nash. Apabila lafadz tersebut menunjukkan makna yang mudah dipahami secara langsung, akan tetapi bukan menunjukkan makna yang dimaksud dari susunan kalimat tersebut, maka dinamakan dzahir (yang jelas).

2.2 Macam-macam Wadhih Ghair Al-Dilalah

Ulama’ Ushuliyyin membagi tingkatan Wadhih Al-Dilalah menjadi empat macam, dari tingkatan yang terendah, yaitu dzahir, nash, mufassar, dan muhkam. Muhkam adalah dalalah yang paling jelas dan paling tinggi tingkatannya yang selanjutnya diikuti mufassar, nash, kemudian dzahir.

1. Dzahir

a) Pengertian Dzahir

Dzhahir menurut Al-Baidhawi adalah suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafal itu sendiri. Definisi lain menegenai dzhahir juga dikemukakan oleh Al-Sarakhsi, yaitu sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.

Misalnya:

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ

 “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga,atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja....” (Q.S. An-Nisa‟ (3): 3).

Secara dzahir adalah kebolehan untuk menikah. Akan tetapi, makna yang diminta bukanlah dari segi susunan kalimat di atas, melainkan susunan kalimat di atas untuk menjelaskan bolehnya melakukan poligami.

b) Hukum Dzahir

Seperti yang dipaparkan dalam kitab Al-Qawaa’iid Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syathiby, Hukum dzahir adalah wajibnya menunaikan makna lafadz tersebut secara bahasa, qath’iy dan yakin dengan menggunakan makna yang mudah dipahami secara langsung. Karena lafadz tersebut seperti yang dikehendaki oleh syari’at, maka harus dijalankan dan termasuk hujjah. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk memalingkan makna tersebut kepada makna yang selainnya.

2. Nash

a) Pengertian Nash

Definisian nash yaitu adanya kelebihan kejelasan makna bandingkan dengan lafaz zahir. Kelebihan yang dimaksud berkaitan dengan konteks lafadznya, tidak tertera langsung pada kata-kata yang digunakan dalam redaksi kalimatnya.

Dalam pengertian nash, Syeikh Abdul Karim Zaidan menambahkan bahwasa nash dapat menerima ta’wil dan menerima naskh hanya dimasa Rasulullah SAW saja, sehingga wajib menggunakan dalil tersebut selama tidak ada dalil yang menyimpang (dari dalil nash) dan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh nash.

b) Hukum Nash

Hukum nash seperti hukum dzahir yang mana wajib menggunakan dalil tersebut, dalil yang mudah dipahami maknanya secara langsung, baik yang dimaksud secara dzat maupun asli. Akan tetapi, apabila nash tersebut berupa lafadz yang khusus, maka mengandung makna untuk ditakwil, dan apabila nash tersebut berupa lafadz yang umum, maka lafadz tersebut mengandung makna untuk ditakshis.

c) Mufassar

a) Pengertian Mufassar

Imam As-Sarakhsy menjelaskan di dalam kitabnya “Ushul As-Sarakhsy” bahwa mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk tegas dan jelas, sehingga petunjuk tersebut tidak mungkin ditakwil ataupun ditaksis, namun pada masa Rasulullah masih bisa dinasakh.

b) Hukum Mufassar

Wajib mengggunakan dalil tersebut secara qath’iy sebagaimana yang telah terperinci, sebab tidak ada lagi ihtimal untuk ditakwil dan selamanya tidak bisa menerima naskh. Namun, ada kemungkinan untuk dinaskh apabila lafadz tersebut berupa hukum far’i yang meminta adanya perubahan.

d) Muhkam

a) Pengertian Muhkam

Muhkam merupakan lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas, tegas serta qath’i. Sehingga, tertutup kemungkinan untuk dita’wil, ditakhsis dan dinasakh, meskipun pada masa Nabi terlebih pada masa setelah Nabi.

Misalnya, seperti kewajiban menyembah hanya kepada Allah SWT., kewajiban beriman kepada para Rasul dan kitab-kitabnya dan juga pokok-pokok keutamaan, seperti berbuat baik terhadap kedua orang tua dan kewajiban menegakkan keadilan. Ayat-ayat seperti ini menunjukkan kepada pengertiannya secara pasti (qath’i), tidak berlaku ta’wil padanya, dan tidak juga terdapat kemungkinan telah dinasakh pada masa Rasulullah saw.

b) Hukum Muhkam

Wajib menggunakan dalil tersebut secara qath’iy tanpa ada keraguan, karena tidak mengandung makna selainnya dan tidak menerima adanya perubahan secara mutlak. Sama halnya ketika masa Rasulullah SAW., atau setelahnya. Karena adanya hukum yang tertera di dalam Al-Quran dan As-Sunnah sudah menjadi ketetapan mutlak sepeninggal SAW., tanpa adanya naskh.

2.3 Wadhih Ghair Al-Dilalah

Wadhih Ghair Al-Dilalah adalah “lafadz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali adanya penjelasan dari luar lafadz tersebut”, maksudnya adalah “nash yang bentuknya itu sendiri tidak bisa menunjukkan kepada arti yang dimaksud daripadanya, bahkan untuk memahami maksud daripadanya memerlukan faktor dari luar”. Wadhih Ghair Al-Dilalah disebut juga dengan istilah lain yaitu Mubham Al-Dilalah.

2.4 Macam-macam Wadhih Ghair Al-Dilalah

Kelompok Hanafiyah membagi Wadhih Ghair Al-Dilalah dibagi menjadi 4 juga, yaitu: Khafi ,Musykil ,Mujmal ,dan Mutasyabih .Sedangkan Kelompok Mutakallimin membagi Wadhih Ghair Al-Dilalah dibagi menjadi 2 juga, yaitu: Mujmal ,dan Mutasyabih .Pembagian tersebut berdasarkan dari tingkatan terendah kepada tingkatan tertinggi.

1. Khafi

Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah adalah suatu lafaz yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada di luar lafaz itu sendiri sehingga arti lafaz itu perlu diteliti secara mendalam. Misalnya, arti pencuri 38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Ketidak jelasan timbul ketika menerapkan ayat itu kepada tukang copet yang secara lihai bisa memanfaatkan kelalaian seseorang untuk menguras harta seseorang,apakah hal itu termasuk ke dalam pengertian pencuri atau tidak? Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan ijtihad, dengan meneliti apakah pengertian itu termasuk ke dalam pengertian ayat sesuai dengan cara suatu lafal yang menunjukkan suatu pengertian.

2. Musykil

Musykil adalah lafaz yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafaz untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar seperti lafaz musytarak (lafaz yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya). Misalnya, lafaz quru’ (jamak dari qur’an) dalam surat Al-baqarah ayat 228 :

228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kata “quru’” dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berari masa haid. Imam syafi’i mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu hanifah mengartikannya dengan masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan berbeda itu didasarkan kepada qarinah atau dalil dari luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafaz musykil dalam Al-qur’an dan Sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari pengertiannya. Dan apabila ditinjau dari segi kekuatan, musykil lebih tinggi kadarnya daripada khafi.

3. Mujmal

Mujmal menurut istilah ulama Ushul ialah lafaz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan pengertian yang dikandung olehnya dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk lafaz atau keadaan yang dapat menjelaskannya. Jadi sebab kesamaran dalam mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang.

Yang temasuk al-mujmal ialah lafaz-lafaz yang pengertian bahasanya dipindah oleh syari’ untuk pengertian-pengertian istilah syara’ secara khusus. Seperti lafaz shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Dengan demikian dapat dikatakan mujmal lebih tinggi kadar khafanya daripada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara’ bukan hasil ijtihad.

4. Mutasyabih

Mutasyabih ialah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafaz itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafaz yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya. Contohnya dalam surat Al-mujadilah ayat 7 :

7. tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau

lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ayat yang mengandung lafaz yang mutasyabih seolah-olah menyerukan Tuhan dengan makhluk-Nya seperti lafaz tangan, mata dan Allah berada di dekat manusia, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa karena Allah mahasuci dari kemiripan dengan makhluk-Nya.

Dalam mengahadapi lafaz mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat. Para ulama salaf hanya menyerahkan kepada Allah saja, karena Allah yang Mahatahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia mengimaninya dan tidak mencari-cari takwilnya. Namun, para ulama khalaf berusaha untuk menghilangkan kesamarannya dengan mencari takwil yang tepat. Umpamanya lafaz yad (tangan) ditakwil-kan dengan kekuasaan, lafaz ain (mata) ditakwilkan dengan pengawasan, dan lafaz yang menggambarkan Allah beserta manusia ditakwilkan dengan pengetahuan-Nya maha meliputi. Maka dengan cara ini barulah hilang kesamaran lafaz mutasyabihat.

BAB III

KESIMPULAN

Wadhih Al-Dilalah Secara umum dalalah diartikan sebagai ’memahami sesuatu atas sesuatu’. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut dengan “madlul” atau yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, lafadz yang disebut madlul itu merupakan hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua disebut dalil atau yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dengan dalil hukum.

Dalalah menurut bahasa adalah menuju maksud tertentu. Dalam ilmu Usul Fiqh ditegaskan bahwa dalalah merupakan pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Dengan kata lain yaitu petunjuk suatu lafadz kepada makna tertentu. Petunjuk lafaz atau dalalah ini memiliki beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama usul fiqh tidak sependapat dalam membaginya.

Wadhih Ghair Al-Dilalah adalah “lafadz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali adanya penjelasan dari luar lafadz tersebut”. Wadhih Ghair Al-Dilalah adalah “lafadz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali adanya penjelasan dari luar lafadz tersebut”

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qawaa’iid Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syathiby

Juhaya,2007.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:Penerbit PUSTAKA SETIA

Nasri,2020.Dilalah Dalam Perspektif Hukum Islam: Analisisdeskriptif Klasifikasi Dilalah Sebagai Penunjukan Atas Hukum Dalam Islam.Bintang:Jurnal Pendidikandan SainsVolume 2.Nomor 2

Naya,Farid.2013.Al-Mujmal Dan Al-Mubayyandalam Kajian Ushul Fiqh,Jurnal TAHKIM.Vol IX No 2

Siregar,Fatahuddin Aziz.2018.Formulasi Hukum Islam; Suatu Kajian Implikasi Lafaz Wadihdan Mubham.Jurnal El Qanuny.Volume 4 Nomor 2

Syafi’I,Rachmat. 2007.Ilmu Ushul Fiqih.Cet II.Bandung: Pustaka Setia

Yasin,Achmad.2017.Ilmu Usul Fiqh:Dasar-asar Istinbat Hukum Islam.Buku Perkuliahan Program S-1 Prodi Siyasah Jinayah Jurusan Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.Paket 12

Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih,CV Pustaka Setia, Bandung, 2007.

Aminudin, Ahyar, Ushul Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 1989.

Effendi, Satria, Pengantar Ushul Fiqih, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Kaidah-kaidah Hukum Islam: (ilmu ushulul fiqh)/oleh Abdul Wahhab Khallaf; Penerjemah, Noer Iskandar al-Barsany, mOh. Tolchah Mansoer, Ed. 1., Cet.8. Jakarta , Jakarta, 2002.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushulul Fiqh, Gema Risalah Pers, Cet. I. Bandung, 1996.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana Prenada Media Group,. Ed.1, Cet. 4. Jakarta . 2008.

Comments

Popular posts from this blog

BAHAN BAKAR ALTERNATIF Penjelasan, Contoh dan Cara membuatnya

PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG DILARANG