PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG DILARANG

 PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG DILARANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha

Dosen Pengampu: Keras_Kreatif

Disusun oleh:

1. Keras_Kreatif  (1900012)

2. Keras_Kreatif (1900061)

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

BAB I 4

PENDAHULUAN 4

A. LATAR BELAKANG 4

B. RUMUSAN MASALAH 4

C. TUJUAN 4

BAB II 6

PEMBAHASAN 6

A. Perjanjian-Perjanjian yang dilarang 6

B. Contoh-Contoh Kasus tentang Perjanjian yang dilarang 9

C. Pandangan Hukum Iskam terhadap Kasus-Kasus Tersebut 12

BAB III 19

PENUTUP 19

D. KESIMPULAN 19

E. SARAN 19

DAFTAR PUSTAKA 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas untuk Mata kuliah Hukum Persaingan Usaha. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’at beliau di akhirat nanti.

Makalah ini bersi tentang Perjanjian-Perjanjian yang dilarang. Walaupun makalah ini telah disusun dengan semaksimal mungkin oleh penulis, akan tetapi kami sebagai penulis makalah ini jugalah manusia dan mahasiswa seperti lainnya. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan dalam penyusunan kalimat maupun dalam tata bahasa yang kurang tepat.

Kami juga menyadari dalam penulisan makalah ini masih ada kemungkinan kekurangan-kekurangan karena keterbatasan kami sebagai penyusun. Untuk itu, masukkan yang bersifat yang membangun akan sangat membantu penyusunan untuk membenahi kekurangannya. Kami berharap makalah ini dapat memeberikan manfaat bagi semua.

Bandung, 03 Maret 2022

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan bebas menciptakan situasi yang kompetitif dalam dunia usaha, memang ada segi positifnya namun disisi lain juga mempunyai aspek negatif. Pengusaha yang memiliki modal kuat, berpengalaman dan terampil akan cepat berkembang dan menguasai pasar. Hal tersebut akan menghalangi masuknya pengusaha kecil atau lemah. Bila tidak ada campur tangan Pemerintah melalui perangkat hukum, maka hal tersebut akan berlangsung terus dan sebagai akibatnya tidak akan ada pemerataan pendapatan.

Untuk mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat pada tangal 5 Maret 1999 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Persaingan tidak sehat dapat dipahami sebagai kondisi persaingan diantara pelaku usaha yang berjalan secara tidak fair. Dan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, para pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian.

Hukum persaingan usaha diciptakan untuk mendukung sistem ekonomi pasar agar persaingan antar pelaku usaha tetap hidup, persaingan antar pelaku usaha dilakukan secara sehat, dan konsumen tidak dieksploitasi oleh pelaku usaha.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja jenis perjanjian-perjanjian yang dilarang?

2. Apa saja contoh-contoh kasus tentang perjanjian yang dilarang?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kasus-kasus dalam perjanjian-perjanjian yang dilarang?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui serta memahami mengenai jenis perjanjian-perjanjian yang dilarang!

2. Untuk mengetahui serta memahami mengenai contoh-contoh kasus tentang perjanjian yang dilarang!

3. Untuk mengetahui serta memahami mengenai pandangan hukum Islam terhadap kasus-kasus dalam perjanjian-perjanjian yang dilarang!

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perjanjian-Perjanjian yang dilarang

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan definisi perjanjian yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjelaskan mengenai unsur-unsur perjanjian yang meliputi : a) Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan; b) Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian; c) Perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis; d) Tidak menyebut tujuan perjanjian.

Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang -Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 sebagai berikut:

a) Perjanjian Oligopoli

Perjanjian oligopoli (shared monopoly) ini dilarang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Sehingga dalam penerapannya harus diteliti dengan seksama apakah suatu perjanjian oligopoli itu merupakan tindakan yang dilarang atau tidak dengan memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Apakah tindakan tersebut terjadi pada suatu pasar tertentu baik pasar produk maupun pasar geografis.

2. Selidiki pula apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan untuk menguasai pasar tersebut.

3. Kemudian harus diperhatikan apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut dalam melakukan praktik monopoli tersebut mempunyai niat atau kesengajaan untuk melakukan praktik monopoli.

Bila ketiga unsur tersebut dipenuhi maka barulah pelaku usaha dapat dikenakan pasal oligopoli tersebut.

b) Perjanjian Penetapan Harga

Pasal 5 ayat (1) melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa bagi konsumen atau pelanggannya. Perjanjian penetapan harga meliputi: a) Perjanjian penetapan kenaikan harga; b) Perjanjian tentang suatu formula tertentu untuk perhitungan harga; c) Perjanjian untuk menghilangkan atau membuat diskon dan rabat; d) Perjanjian tentang syarat-syarat kredit bagi pelanggan atau konsumen; e) Perjanjian untuk menghilangkan produk-produk yang dipasarkan pada harga yang murah untuk dapat membatasi supply dan mempertahankan tingginya harga.

Undang-Undang memberikan pengecualian terhadap larangan membuat perjanjian ini jika perjanjian penetapan harga ini dibuat dalam hal usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

c) Perjajian Pembagian Wilayah (Market Allocation)

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian pembagian wilayah dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Perjanjian pembagian wilayah ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar dimana wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi atau wilayah regional lainnya.

d) Perjanjian Pemboikotan

Perjanjian pemboikotan terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Perjanjian pemboikotan ini merupakan suatu perjanjian horizontal yang dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lainnya.

e) Perjanjian Kartel

Perjanjian kartel merupakan kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. Selanjutnya terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel yakni: Pertama, terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss; Kedua, dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik.

Kartel dapat dilihat dari para pelaku usaha yang saling memberikan informasi, serta para pelaku usaha berusaha untuk menyimpan hal-hal yang menjadi rahasia keberhasilan perusahaan dalam mendapatkan pembeli/konsumen. Namun pada praktiknya, kartel sangat susah untuk dipertahankan karena sangat tergantung kepada kesetiaan para pelakunya yang bila tidak dapat dipertahankan maka akan mengakibatkan harga kembali kepada titik persaingan.

f) Trust

Dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang adanya lembaga trust ini di mana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perusahaan perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

g) Oligopsoni

Perjanjian oligopsoni ini merupakan kebalikan dari oligopoli yang terjadi di tingkat penjualan sedangkan oligopsoni terjadi di tingkat pembelian. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

B. Contoh-Contoh Kasus tentang Perjanjian yang dilarang

a) Contoh Kasus Perjanjian Oligopoli

Contohnya jika satu pelaku usaha menaikkan harga salah satu produknya maka pelaku usaha yang lain juga akan menaikkannya, demikian juga sebaliknya apabila harga diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena sifat barang-barang yang homogen mengakibatkan tidak terjadinya.

b) Contoh Kasus Perjanjian Penetapan Harga

Penetapan harga yang dilakukan oleh PT. Excelcomindo Pratama, Tbk dengan 5 operator telepon seluler di Indonesia merupakan bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan keuntungan bagi mereka sendiri tanpa memperdulikan hak-hak konsumennya. Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa ternyata ada kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh PT. Excelcomindo Pratama, Tbk. dengan beberapa operator seluler lainnya mengenai penetapan tarif sms (price fixing). Dalam Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, ke-6 operator seluler tersebut telah mendapatkan sanksi denda sejumlah 52 milyar rupiah kepada Negara. Ke-6 Operator telepon seluler tersebut juga harus membayar ganti kerugian terhadap konsumen.

c) Contoh Kasus Perjajian Pembagian Wilayah

1. Pembagian pasar fungsional, disini pasar dibagi menurut fungsinya, misalnya pasar distribusi barang tertentu diberikan kepada kelompok pasar yang satu, semetara pasar retail barang yang sama diberikan pada kelompok pelaku pasar lainnya.

2. Pembagian pasar produk, di sini pasar dibagi menurut jenis produk dari suatu garis produksi yang sama, misalnya untuk penjualan sparepart mobil merek tertentu seorang pelaku usaha memasok suku cadang yang kecil-kecil sementara pelaku pasar pesaingnya memasok suku cadang besar-besar.

d) Contoh Kasus Perjanjian Pemboikotan

Yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggelar sidang perdana kasus dugaan kartel sapi yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga daging sapi beberapa waktu lalu. Dalam sidang kemarin, Majelis Komisi memeriksa beberapa saksi, salah satunya Kepala Rumah Potong Hewan (RPH) Jonggol, Hariyanto.terungkap bahwa RPH biasanya memotong sapi yang menguntungkan dari sisi harga dan yield (imbal hasil). Namun belum ada kesimpulan apakah tindakan tersebut menyebabkan kelangkaan pasokan daging KPPU menduga ada 32 feedlotter yang terlibat dalam kartel. Mereka ditengarai menahan stok yang masuk ke RPH sehingga stok daging langka. Akibat ulah kartel ini, harga daging sapi pada Juli-Agustus lalu melambung hingga Rp 140 ribu per kilogram.

e) Contoh Kasus Perjanjian Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semakin mencium adanya praktik kartel minyak goreng. Menyusul dari kasus dugaan penimbunan minyak goreng di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Apalagi jumlah minyak goreng yang berhasil ditemukan sangat banyak, mencapai 1,1 juta kilogram (kg),Jumlah minyak goreng sebanyak itu ada di beberapa gudang, yakni diduga milik produsen minyak goreng dan peritel. Akibat sinyal terhentinya distribusi minyak goreng ke pasaran, masyarakat kian kesulitan untuk mendapatkannya. Jika terus dibiarkan berlarut, maka berpotensi memperparah keadaan mendekati masa Ramadan.

f) Contoh Kasus Trust

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah membawa kasus dugaan Kartel dan Trust yang dilakukan Indosat Ooredoo dan XL Axiata melalui perusahaan patungan PT. One Indonesia Synergi (OIS) ke tahap penyelidikan Indosat dan XL Axiata dilaporkan ke KPPU oleh Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI). dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh XL Axiata dan Indosat Ooredo atas pembentukan perusahaan gabungan yaitu PT. One Indonesia Synergi semakin menguat dan menjadi apresiasi tersendiri dari FMPTI terhadap kinerja KPPU dalam menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia,sebab kita tahu bahwa iklim persaingan usaha di Indonesia khususnya di industri telekomunikasi sedang banyak permasalahan. . Dugaan Price Fixing atau Kartel (harga). Dugaan price fixing terlihat adanya strategi tarif 1rupiah satu detik yang diterapkan oleh Indosat Ooredo dan Rp 59/1 menit yang diterapkan oleh XL Axiata.

Penerapan tarif ini diduga melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan dapat dikenai pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini lazim dikenal dengan Penerapan Harga atau kartel harga, dimana konsumen tidak dapat atau sulit membedakan dan tidak dapat melihat perbedaannya dalam tagihan ataupun perhitungan pulsa. Ada kesan bahwa perilaku ini tidak transparan.

Dugaan Pembagian Wilayah sebagaimana dilaporkan FMPTI, berdasarkan informasi yang ada, juga infrastruktur yang dibangun oleh kedua perusahaan ini diduga terjadi pembagian wilayah dimana ketika sudah ada satu perusahaan pembangun jaringan dan perusahaan yang lain tidak melakukan pembangunan jaringan yang sama.

Perilaku ini dapat diduga melanggar pasal 9 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini dikenal dengan Pembagian Wilayah atau kartel wilayah.

Analisa kedua setelah “PT OIS” resmi beroperasi. Potensi atau dugaan ini meliputi pelanggaran:

a. Pasal 5 “UU 5/1999” terkait Penetapan Harga (Price fixing)

b. Pasal 9 “UU 5/1999” terkait Pembagian Wilayah (Market allocation)

c. Pasal 11 “UU 5/1999” terkait Pembagian Wilayah Pemasaran, harga, dan produksi (Kartel)

d. Pasal 12 “UU 5/1999” terkait kerjasama membentuk gabungan perusahaan (trust)

e. Pasal 15 ayat (2) “UU 5/1999” terkait Perjanjian Tertutup (exclusive dealing)

f. Pasal 19 ayat (b) dan (d) “UU 5/1999” terkait Penguasaan Pasar

g. Pasal mengenai Penggabungan Konsolidasi dan Akuisisi (merger).

g) Contoh Kasus Oligopsoni

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) KPPU Makassar, Ramli Simanjuntak, di Makassar, Sabtu (13/1). menyatakan jika di Sulawesi Selatan karakter pasar khusus untuk komoditas beras cenderung kepada oligopsoni panjangnya rantai distribusi ini kemudian membuat para pedagang beras mencari pilihan untuk membeli beras sesuai dengan harga yang diinginkan para pedagang. hasil sidaknya juga dibeberapa pedagang besar di kawasan utara kota Makassar, ia menemukan adanya kenaikan harga beras dikarenakan beras yang dibelinya juga dari para pengumpul dinaikkan. dengan memotong rantai distribusi yang dianggapnya cukup panjang sehingga banyak pihak yang diuntungkan dalam skema ini.

C. Pandangan Hukum Iskam terhadap Kasus-Kasus Tersebut

a) Pandangan Hukum Islam Terhadap oligopoly

Islam memandang pasar ini tidak terlalu menyimpang seperti halnya pada Pasar Monopoli. Tetapi dalam jenis pasar ini, perusahaan-perusahaan kecil menjadi tidak dapat berkembang dikarenakan kalah saing oleh perusahaan-perusahaan besar yang memang dari dulu sudah memiliki nama dalam masyarakat. Dalam Pasar Oligopoli, para penjual menentukan harga sesuai kriteria dalam masyarakat. Struktur Pasar yang Islami adalah Pasar yang menciptakan tingkat harga yang adil. Adil dalam hal ini adalah tidak merugikan konsumen pun produsen, terkait dengan surplus produsen dan surplus konsumen. Struktur Pasar dalam Islam didasarkan atas prinsip kebebasan, termasuk dalam melakukan kegiatan ekonomi dan lain sebagainya.

Dalam islam pasar oligopoli tidak dilarang, tetapi dalam jenis pasar ini perusahaan-perusahaan kecil jadi tidak dapat berkembang dikarenakan kalah saing oleh perusahaan-perusahaan besar yang memang dari dulu sudah memiliki nama dalam masyarakat. Dalam pasar oligopoli para penjual menentukan harga sesuai kriteria dalam masyarakat. Pasar oligopoli keadaannya menunjukan persaingan tidak sempurna antara beberapa perusahaan. Secara umum, pola struktur oligopoli yang tidak diperkenankan dalam ekonomi islam adalah kemungkinan banyak menimbulkan penyimpangan moral didalamnya.

b) Pandangan Hukum Islam Terhadap penetapan harga

Proses penetapan harga yang dilakukan oleh sekelompok para pengusaha yang melakukan kartel, sesuai dengan hadits dibawah ini mengenai penetapan harga : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Hajjaj bekata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dan Humaid dan Tsabit dari Anas bin Malik ia berkata, „pernah terjadi kenaikan harga pada masa Rasulullah SAW, maka orang-orang pun berkata, „Wahai Rasulullah, harga-harga telah melambung tinggi, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Beliau lalu bersabda: „Sesungguhnya Allah yang menentukan harga, yang menyempitkan dan melapangkan, dan Dia yang memberi rezeki. Sungguh, aku berharap ketika berjumpa dengan Allah tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku dalam hal darah dan harta” Hadits di atas pada dasarnya menegaskan bahwa harga ditentukan oleh pasar, memberikan harga berlaku menurut alamiahnya, tanpa campur tangan dari pihak mana pun.

Misalnya pedagang menjual dagangannya dengan baik dan tidak mengandung kezaliman, namun kemudian harganya naik karena banyaknya orang yang meminta barang tersebut. Namun jika berbagai faktor yang tidak alamiah terjadi di pasar, misalnya terjadi monopoli sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhannya, atau masyarakat sangat memerlukan barang tertentu, namun pedagang tidak mau menjualnya kecuali dengan harga yang tinggi, maka diperlukan intervensi terhadap pasar.93 Transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil, hal ini sebagai wujud dari komitmen syariah Islam terhadap keadilan yang menyeluruh.

Harga yang adil adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya. Dengan demikian, Islam memnjamin pasar di mana pembeli dan penjual bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam rangka keadilan. Selain itu untuk melakukan analisis ekonomi terhadap hukum kartel, hukum Islam menggunakan teori kaidah fiqih ا ُل َ ز ُ ي ُ ار َ ضر ل َّ َ ا sebagai “pisau analisis” yang berarti kemudharatan harus dihilangkan.

Dengan demikian, stressing pointnya bukan pada terjadinya perjanjian, namun pada dampak kenaikan harga yang tidak wajar yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang tergabung dalam kartel, karena dampak dari pada kartel itu lebih besar mudharatnya dibandingkan manfaatnya.. Hukum bisnis Islam menghendaki adanya hubungan yang proporsional antara negara dengan masyarakatnya (masyarakat dan pelaku usaha). Disatu sisi, negara berkewajiban untuk memberikan “pasar bebas” bagi pelaku untuk melakukan perdagangan, namun dalam satu tarikan nafas dengan itu, negara wajib menjaga dan memenuhi kebutuhan rakyatnya terutama dalam kebutuhan pokok dari tindakan-tindakan yang monopolistik.

c) Pandangan Hukum Islam Terhadap Pemboikotan

Ulama hanafiah mendefinisikan Al-Hajru dengan pernyataan terhadap larangan dengan pernyataan terhadap larangan tertentu yang berhubungan dengan orang tertentu dari transaksi (akad) tertentu untuk menggunakan dan mengambil keuntugan dari transaksi tersebut. Maksudnya larangan untuk menggunakan harta terhadap anak kecil, orang gila, orang bangkrut dan orang yang bodoh (al-safih) baik itu berupa transaksi jual beli, pinjam meminjam, hibah, wakaf dan yang lainya yang masih berhubunga dengan harta. Namun jika transaksi (akad) itu tidak ada kaitanya dengan harta secara langsung seperti akad nikah, talak dan zihar, maka hal itu tidak ada larangan (pengampuan) Ulama syafiiyah mendefinisikan Al-Hajru dengan larangan transaksi terhadap harta karena sebab-sebab tertentu.

Transaksi yang dilakukan selain harta tidak dilarang (tidak diperlukan pengampuan). Dengan demikian dibolehkan bagi orang bodoh, orang sakit dan orang bangkrut untuk melakukan transaksi dalam hal talak, zihar dan mengungkapkan kewajiban terhadap suatu hukuman, begitu juga dibolehkan bagi mereka untuk melakukan ibadah badaniyah baik itu merupakan ibadah wajib maupun sunat. Sementara anak-anak dan orang gila tidak boleh melakukan transaksi secara mutlak. Ulama malikiyah mendefinisikan al-hajru dengan sifat (tindakan) yang bijaksana (sebagaimana yang ditunjukan oleh syara) yang diwajibkan larangan terhadap pelaksanaan transaksi pada pentabarau’an terhadap 1/3 dari hartanya, yaitu larangan terhadap anak-anak dibawah umur, orang gila, orang bodoh (al-safih), orang bangkrut dan lain-lain. Bahwasanya mereka dilarang melakukan transaksi terhadap harta mereka karena ketidakmampuan mereka melakukanya.

Meskipun ada diantara mereka melakukan transaksi jual beli terhadap suatu barang, maka hal itu dianggap tidak sah dan tidak berarti kecuali mendapat izin dari walinya. Ulama hanabilah mendefinikan al-hajru dengan larangan pemilikan dari transaksi seseorang terhadap hartanya, baik larangan tersebut sebelum disyariatkan, seperti anak-anak kecil, orang gila, dan orang bodoh, maupun sebelum diputuskan oleh seorang hakim terhadap pembeli barangnya sampai ia memutuskan. Imam sayyid sabiq mengartikan al-hajru dengan larangan terhadap manusia untuk mentasharrufkan hartanya. Dari rangkaian definisi diatas dapatlah diketahui bahwa mereka khususnya ulama fiqh yang empat (ulama hanafiayah, malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah) berbeda dalam merumuskan kata-kata untuk memberikan definisi al-hajru di atas, namun dari segi esensinya sama yaitu melarang atau membatasi seseorang untuk melakukan transaksi terhadap hartanya atau dengan kata lain menggunakan dan mengolah (mentasharrufkan) harta tersebut baik itu berupa transaksi jual-beli, hibah, wakaf dan lain-lain yang masih berkaitan langsung dengan harta karena ada alasan-alasan tertentu atau sebab-sebab tertentu.

d) Pandangan Hukum Islam Terhadap Kartel

Dalam Perdagangan Kartel merupakan perjanjian kerjasama oleh pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha sainganya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Praktek kartel bertujuan agar harga produk dipasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah dan dapat mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari prkatek kartel adalah untuk memperoleh sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen.

Kartel dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Sebagai contoh, para pemasok mengatur agen penjual tunggal yang membeli semua output mereka dengan harga yang disetujui, dan mengadakan pengaturan dalam memasarkan produk tersebut secara terkoordinasi. Bentuk lain pemasok melakukan perjanjian dengan menentukan harga jual yang sama terhadap produk mereka, sehingga menghilangkan persaingan harga. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkan dari pra ktek kartel dalam perdagangan dari perspektif hukum Islam, diperhatikan norma dan etika perdagangan yang ditetapkan syara‟ dalam bermuamalah. Berdasarkan norma dan etika yang ada, akses yang ditimbulkan dari usaha tersebut jelas bertentangan, karena Islam lebih menekankan kajujuran dan keadilan dalam bermuamalah. Syirkah dan kartel mempunyai esensi yang sama yaitu menjalin kerja sama.

Sebagian ulama terhadap syirkah ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak tergantung dari tujuan kerja sama tersebut dan sebaliknya untuk kartel sendiri undang-undang melarang karena ada unsur monopoli, karena dalam melakukan syirkah itu harus sesuai dengan pinsip muamalah yaitu yang salah satunya yaitu harus bernilai secara syar‟i bukan secara subjektif aau secara perseoragan yang hanya menguntungkan untuk sebagian pihak saja.

Sebagaimana telah dijelaskan didalam al-Qur‟an bahwa setiap pedagang atau pengusaha muslim berkewajiban untuk mentaati seluruh aturan hukum dan norma jual-beli atau perdagangan yang terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Hadits, serta pendapat para fuqaha‟. Diantaranya adalah bahwa setiap pedagang atau pengusaha muslim dituntut untuk senantiasa berprilaku jujur dan adil serta menghindari segala bentuk persaingan yang curang dan kotor, sebagaimana firman Allah dalam surat Hud ayat 85: Artinya: “Dan Syu`aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

e) Pandangan Hukum Islam Terhadap Trust

Dalam Islam segala sesuatu atau sekecil apapun terdapat etika tersendiri dalam melakukannya. Rasulullah Saw. Mengajarkan umatnya tentang bagaimana menjadi manusia yang beratata krama. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa sehingga apapun yang dilakukan menjadi teratur, seimbang dan bersahaja.Etika yang baik terlahir dari kebiasaan yang baik. Ada ungkapanyang mengemukakan, “tidak semua kebiasaan itu benar, tetapi yang benar itu harus dibiasakan”, termasuk kebiasaan sehari-hari

Dalam berbisnis. Agama islam sangat menganjurkan untuk membiasakan kebiasaan yang baik dan santun, karena dengan kesantunan itulah maka pelaku bisnis akan memperoleh keuntungan yang sangat banyak, baik keuntungan yang bersifat jangka pendek seperti profit untuk mengukur keberhasilan penjualan maupun profit yang bersifat jangka panjang yaitu hubungan baik dengan para pihak yang berkepentingan.Pelaku bisnis sangat mengaharpkan profitabilitas, tetapi pada sisi lain islam memandang profitabilitas tidak hanya menghasilkan keuntungan yang sifatnya materi semata tetapi juga keberkahan dan memenuhi aturan yang ditetapkan Allah swt. Dengan etika maka Allah swt. Akan memberikan keuntungan ganda (duniawi dan ukhrowi). Etika perilaku produsen sesuai dengan kaidah islam menurut Rivai meliputi:

1. Tidak memproduksi dan memasarkan produk yang haram.

2. Memproduksi barang yang bersifat sekunder dan tersier disesuaikan dengan permintaan pasar.

3. Melakukan promosi yang wajar guna menghindariterciptnya perilaku konsumtif masyarakat.

4. Kontrol pasar yang dilakukan produsen dengan cermat guna mengindari over supply

f) Pandangan Hukum Islam Terhadap oligosoponi

Nilai- nilai islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktivitas ekonomi didalamnya haruslah dilandasi legalitas halal-haram, mulai dari produktifitas, hak kepemilikan konsumsi,transaksi, dan investasi. Aktifitas yang terkait denganaspek hukum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan distribusi pendapatannya Berdasarkan sifatnya maka perjanjian yang bersifat oligopoli dilarang karena hal-hal berikut diantaranya pertama yaitu merugikan konsumen dimana praktik perjanjian oligopoli akan menghasilkan kinerja pasar dibawah optimal yang sama pada perjanjian monopoli.

BAB III

PENUTUP

D. Kesimpulan

Untuk mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat pada tangal 5 Maret 1999 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Perjanjian oligopoli (shared monopoly) ini dilarang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Dalam Pasal 5 ayat (1) melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa bagi konsumen atau pelanggannya. Perjanjian pembagian wilayah dapat bersifat horizontal maupun vertikal.

Perjanjian pemboikotan terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sedangkan, perjanjian kartel merupakan kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. Selanjutnya perjanjian oligopsoni ini merupakan kebalikan dari oligopoli yang terjadi di tingkat penjualan sedangkan oligopsoni terjadi di tingkat pembelian.

Islam memandang pasar ini tidak terlalu menyimpang seperti halnya pada Pasar Monopoli. Tetapi dalam jenis pasar ini, perusahaan-perusahaan kecil menjadi tidak dapat berkembang dikarenakan kalah saing oleh perusahaan-perusahaan besar yang memang dari dulu sudah memiliki nama dalam masyarakat.

E. Saran

Adapun saran penulis untuk pembaca agar pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang materi ini. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan baik dalam penulisan, maupun dalam kosa kata yang di pakai karena kami masih dalam proses pembelajaran. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga pembaca dapat memberikan kritik yang membangun bagi kami.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000.

Sitompul, Asril, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung:1999.

Nasution, Farid dan Retno Wiranti, Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi, Jakarta: 2008.

Sirait, Ningrum Natasya, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Rokan, Mustafa akmal, Hukum Persaingan Usaha (teori dan prakteknya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT.Ihktiar Baru van houve, 1996) cet.ke-1.

Abdu al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Madzhibi al-‘Arba’ah, (Beirut : Dara Al-Fikri, th) jilid 2.

Sabiq, Sayyid, Fiqhu Al-Sunnah, Beirut: Dara al-Fikri, 1983, jilid 3.

Aziz, Dahlan Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 2.

Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Mutakhir, Jakarta: Yayasan al-Hamidy, 1994.

Al-jaziri, al-Rahman Al-Fiqhu 'Ala Madzhibi al- 'Arba 'ah, Beirut: Dara Al-Fikri, A.jazuli Kaidah-Kaidah Fiqh: kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana, 2007.

Jurnal

M. Tri Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat Per se Illegal atauu Rule of Reason, Cet. 1, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Depag RI, Al-Quer‟an dan Terjemahannya, hlm. 340 92 Abi „Isa Muhammad bin „Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmizi al-Jami’ as-Sahih, (Beriut: Dar Al-Ma‟rifah, 2002).

Perundang-Undangan

Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Website



Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH “WADHIH AL-DILALAH DAN WADHIH GHAIR AL-DILALAH “

BAHAN BAKAR ALTERNATIF Penjelasan, Contoh dan Cara membuatnya