Landasan alternatif penyelesaian sengketa Dagang
Landasan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia
a. Pasal 130 HIR Jo. Pasal 154 RBg
Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku serta pengaruh globalisasi. Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) telah melakukan pembangunan hukum dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, khususnya mengenai kewajiban menempuh proses mediasi di pengadilan. Pada dasarnya Pasal 130 Het Herzeine Indonesish Reglement (HIR), 154 Rechts Reglement Buitengewesten (Rbg) telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak melalui perdamaian. Upaya penyelesaian melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efesien, antara lain disebabkan penyelesaian dilakukan secara informal, diselesaikan oleh para pihak sendiri, jangka waktu penyelesaian pendek, biaya ringan, tidak terikat pada aturan pembuktian, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hubungan para pihak bersifat kooperatif, hasil yang dituju adalah sama-sama menang serta bebas dari emosi dan dendam. Pada praktiknya, Pasal 130 HIR, 154 Rbg ini hanya dilaksanakan sekedar memenuhi formalitas saja, di mana hakim pada awal sidang selalu menanyakan apakah para pihak telah mencapai kesepakatan/ perdamaian atau tidak dan apabila tidak, maka proses persidangan dilanjutkan, serta diakhir sidang hakim kemudian menyarankan agar para pihak menempuh upaya perdamaian. Pelaksanaan Pasal 130 HIR yang terkesan formalistik saja, mengakibatkan proses persidangan perkara perdata berlanjut sampai tingkat Mahkamah Agung (MA), sehingga mengakibatkan penumpukan perkara di MA. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian sengketa perdata sendiri pada dasarnya dapat dibedakan menjadi penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara adversarial. Penyelesaian sengketa secara damai lebih dikenal dengan penyelesaian secara musyawarah mufakat. Sementara penyelesaian sengketa secara adversarial lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam sengketa. MA kemudian mengintrodusir penyelesaian sengketa diluar pengadilan berupa mediasi ke dalam sistem persidangan perkara perdata. Bertitik tolak dari Pasal 130 HIR, 154 Rbg dan untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkan lembaga perdamaian, MA kemudian memodifikasinya ke arah yang lebih memaksa (compulsory) yaitu melalui mekanisme mediasi litigasi, dengan maksud agar tidak semua perkara yang diajukan di Pengadilan Negeri (selanjutnya disingkat PN) berlanjut ke tingkat kasasi di MA yang pada gilirannya akan mengakibatkan penumpukan perkara di MA.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang-Undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-Undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
• surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
• setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
• putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
Bab IX dari Undang-Undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter. Bab X dari Undang-Undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.
c. Perma RI No.2 Tahun 2003
Comments
Post a Comment