Makalah ( DASAR HUKUM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA)

 DASAR HUKUM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

(Nama Dosen Pembimbing)

oleh:

(Nama mahasiswa) 19220139 (Nim)

(Nama mahasiswa) 19220174 (Nim)


JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS (--------)

TAHUN 2025

KATA PENGANTAR

 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat, Ridho, Taufik, dan Hidayah-Nya serta memberikan kekuatan dan kesabaran sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga para sahabatnya yang pasti kita nanti menantikan syafaatnya. Aminn Ya Robbal ‘alamin

 Penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat penmbelajaran dan penambahan nilai untuk mata kuliah Hukum  yang diampu oleh Bapak (Fajar meuren)M.HI , Fakultas Syariah, Keras_Kreatif. Dalam menyelesaikan makalah ini kami sekelompok bekerja sama untuk menjelaskan materi secara baik dan dapat dipahami oleh para pembaca. Maka dari itu kami sekelompok mohon kiranya kritik dan saran dari para pembaca sangat diharapkan dan dibutuhkan demi perbaikan gunu kesempurnaan makalah ini dan akan diterima dengan kelapangan dada. Pada akhirnya kami sekelompok berharap semoga makalah ini kiranya dapat memberi manfaat pembaca.

Bandung, 09 Maret 2025

Kami Sekelompok

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Konflik dan sengketa yang sudah terjadi di kalangan umat manusia adalah suatu yang realitas, manusia sebagai khalifah di bumi di tuntut untuk dapat menyelesaikan sengketa, karena manusia diberikan akal serta wahyu yang dapat menata kehidupannya. Maka manusia harus mencari dan menemukan penyelesaian sengketa yang mejuruk pada sejumlah ayat yang ada di Al-Quran dan Hadist.

FirmanAllah :

وَجَزٰۤؤُاسَيِّئَةٍسَيِّئَةٌمِّثْلُهَاۚفَمَنْعَفَاوَاَصْلَحَفَاَجْرُهٗ عَلَىاللّٰهِۗاِنَّهٗ لَايُحِبُّالظّٰلِمِيْنَ

Artinya : “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (Q.S. AsySyura : 40).

Pasal 130 HIR, 154 Rbg ini hanya dilaksanakan sekedar memenuhi formalitas saja, di mana hakim pada awal sidang selalu menanyakan apakah para pihak telah mencapai kesepakatan/ perdamaian atau tidakdan apabila tidak, maka proses persidangan dilanjutkan, serta diakhir sidang hakim kemudian menyarankan agar para pihakmenempuh upaya perdamaian. Pelaksanaan Pasal 130 HIR yang terkesan formalistik saja, mengakibatkan proses persidangan perkara perdata berlanjut sampai tingkat Mahkamah Agung (MA), sehingga mengakibatkan penumpukan perkara di MA. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian sengketa perdata sendiri pada dasarnya dapat dibedakan menjadi penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara adversarial.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

BAB II

PEMBAHASAN

A. DasarHukumAlternatifPenyelesaianSengketaDalam Al-Qur’an Dan Hadist

 Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Konflik dan sengketa yang sudah terjadi di kalangan umat manusia adalah suatu yang realitas, manusia sebagai khalifah di bumi di tuntut untuk dapat menyelesaikan sengketa, karena manusia diberikan akal serta wahyu yang dapat menata kehidupannya. Maka manusia harus mencari dan menemukan penyelesaian sengketa yang mejuruk pada sejumlah ayat yang ada di Al-Quran dan Hadist.

FirmanAllah :

وَجَزٰۤؤُاسَيِّئَةٍسَيِّئَةٌمِّثْلُهَاۚفَمَنْعَفَاوَاَصْلَحَفَاَجْرُهٗ عَلَىاللّٰهِۗاِنَّهٗ لَايُحِبُّالظّٰلِمِيْنَ

Artinya : “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim”. (Q.S. AsySyura : 40).

Mungkinayattersebutterlihatsepertitidakmemebicarakanmengenaipersengketaan, akantetapiapabiladicermatidenganadanya kata “balasan”, “kejahatan”, “memaafkan”, danberbuatbaik, tentunyamelibatkanduabelahpihak.

FirmanAllah :

• وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Artinya : “Dan jikaadaduagolongandarimereka yang berimanituberperangmakadamaikanlahantarakeduanya. Jikasalahsatudarikeduagolonganituberbuataniayaterhadapgolongan yang lain makaperangilahgolongan yang berbuataniayaitusehinggagolonganitukembalikepadaperintah Allah. Jikagolonganitutelahkembali (kepadaperintahAlah), makadamaikanlahantarakeduanyadenganadildanberlakuadillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlakuadil. Sesungguhnya orang-orang mukminbersaudara, karenaitudamaikanlah di antarakeduasaudaramudanbertakwalahkepada Allah supayakamumendapatrahmat.”

Surat tersebutmerupakanlandasandansumberpenyelesaiankonflik yang terjadiapabilamerekaterlibatkonflikmakadiselesaikandengancara yang damai.

Hadis Rasulullah : “Al-Hasan bin Ali al-Hilalmeriwayatkanhaditskepada kami, dari Abu Amir al-Aqdi, dariKatsir bin Abdullah bin Amr bin Auf al-Muzni, dariayahnya, dari ayah-ayahnya (kakeknya), dariRasulullah SAW bersabda: al-Sulhitujaiz (boleh) antara (bagi) umat Islam, kecualisulh yang mengharamkan yang halal atausebaliknya (menghalalkan yang haram). Dan umat Islam bolehberdamai (dengan orang kafir) dengansyarat yang merekaajukan, kecualisyarat yang mengharamkan yang halal atausebaliknya.”

Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam ajaran Islam :

1) Al-Islah

Al-Islahatau As-Sulh, ataudapatjugadiartikansebagaiperbuatanterpuji yang memilikihubungandenganperilakumanusia. Sedangkanmenurutetimologi, Islahmemilikiartimemutuskesepakatan yang dibuatuntukmenyelesaikanpersengketaan.

2) Tahkim (Arbitrase)

 Tahkimberasaldari kata hakkama. Secaraetimologi, tahkimberartimenjadikanseseorangsebagaipencegahsuatusengketa. Secaraumum, tahkimmemilikiarti yang samadenganarbitraseyaknisebagaipenengahantaradua orang yang sedangberselisihgunamenyelesaikanmaslahtersebutsecaradamai.

3) Al-Wilayat al Qadha (KekuasaanKehakiman)

 Al-Hisbahadalahlembagaresminegara yang memilikiwewenanguntukmenyelesaikanmasalah-masalah. Kewenanaganlembaga Al-Hisabahtertujupada 3 hal, yaknipertama :dakwaanterkaitdengankecurangan, kedua : dakwaanterkaitdenganpenipuandalamkomoditidanharga, ketiga : dakwaanterkaitdenganpenundaanpembayaranhutangpadahapihak yang berhutangdinilaimampumembayarhutangtersebut. KekuasaanHisbahterbataspadapengawasanterhadappelaksanaankebaikandanmelarang orang untukmelakukankemungkaran.

 Al Madzalim, badan yang dibentukpemerintahuntukmembela orang-orang yang teraniayaakibatsikap yang semena-mena, kewenangan yang dimilikilembagainiadalahmenyelesaikankasus-kasuspelanggaranhukum yang dilakukan apparat ataupejabatpemerintahansepertikasussuap, korupsidankebijakanpemerintah yang dapatmerugikanmasyarakat.

 Al Qadha (Peradilan) menurut Bahasa berartimemutuskanataumenetapkan, sedangkanmenurutistilahberartimenetapkanhukumsyarapadasuatuperistiwaatausengketauntukmenyelesaikannyasecaraadildanmengikat>kewenangan yang dimilikilembagainiadalahmenyelesaikanperkara-perkaratertentu yang berhubungandenganmasalahkeperdataan.

B. Landasan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia

a. Pasal 130 HIR Jo. Pasal 154 RBg

Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum dengan tetapmemperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku serta pengaruh globalisasi. Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) telah melakukan pembangunan hukum dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan, khususnya mengenai kewajiban menempuh proses mediasi di pengadilan. Pada dasarnya Pasal 130 Het Herzeine Indonesish Reglement (HIR), 154 Rechts Reglement Buitengewesten (Rbg) telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak melalui perdamaian. Upaya penyelesaian melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efesien, antara lain disebabkan penyelesaian dilakukan secara informal, diselesaikan oleh para pihak sendiri, jangka waktu penyelesaian pendek, biaya ringan, tidak terikat pada aturan pembuktian, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hubungan para pihak bersifat kooperatif, hasil yang dituju adalah sama-sama menang serta bebas dari emosi dan dendam. Pada praktiknya, Pasal 130 HIR, 154 Rbg ini hanya dilaksanakan sekedar memenuhi formalitas saja, di mana hakim pada awal sidang selalu menanyakan apakah para pihak telah mencapai kesepakatan/ perdamaian atau tidakdan apabila tidak, maka proses persidangan dilanjutkan, serta diakhir sidang hakim kemudian menyarankan agar para pihakmenempuh upaya perdamaian. Pelaksanaan Pasal 130 HIR yang terkesan formalistik saja, mengakibatkan proses persidangan perkara perdata berlanjut sampai tingkat Mahkamah Agung (MA), sehingga mengakibatkan penumpukan perkara di MA. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian sengketa perdata sendiri pada dasarnya dapat dibedakan menjadi penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa secara adversarial. Penyelesaian sengketa secara damai lebih dikenal dengan penyelesaian secara musyawarah mufakat. Sementara penyelesaian sengketa secara adversarial lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam sengketa. MA kemudian mengintrodusir penyelesaian sengketa diluar pengadilan berupa mediasi ke dalam sistem persidangan perkara perdata. Bertitik tolak dari Pasal 130 HIR, 154 Rbg dan untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkan lembaga perdamaian, MA kemudian memodifikasinya ke arah yang lebih memaksa (compulsory) yaitu melalui mekanisme mediasi litigasi, dengan maksud agar tidak semua perkara yang diajukan di Pengadilan Negeri (selanjutnya disingkat PN) berlanjut ke tingkat kasasi di MA yang pada gilirannya akan mengakibatkan penumpukan perkara di MA.

b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :

a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;

b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;

c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.

Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.

Arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang-Undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.

Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-Undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan.Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :

• surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;

• setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau

• putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.

Bab IX dari Undang-Undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.Bab X dari Undang-Undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.

c. Perma RI No.2 Tahun 2003

Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA Nomor 2 Th. 2003), dimana dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan dalam PERMA tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad IbnuFarhum. 1031. Tabsirah al Hukkam fi Ushul al QhadhiyahwaManahij al Ahkam. Darr al Maktabah al Ilmiah. Jilid I. Libanon: Bairut.

Hibnu Nugroho, ‘Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global’ (2008) 26 Jurnal Pro Justitia.[320-321]; Riri Nazriyah, ‘Peranan Cita Hukum Dalam Pembentukan Hukum Nasional’, [2002] Jurnal Hukum Ius Quia Iustum.[136]; Fence M Wantu, ‘Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata’ (2012) 12 Jurnal Dinamika Hukum.[479, 479].

Triana Sofiani, ‘Efektivitas Mediasi Perkara Perceraian Pasca PerMA Nomor 1 Tahun 2008 Di Pengadilan Agama’ (2010) 7 Jurnal Penelitian.; Shinta Dewi Rismawati, ‘Hakim Dan Mediasi: Pemaknaan Hakim Terhadap Mediasi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Pekalongan’ (2012) 9 Jurnal Penelitian. [257; 257-258].

Rahadi Wasi Bintoro, ‘Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata’ (2010) 10 Jurnal Dinamika Hukum.[147, 148]; Dewi Tuti Muryati; B Rini Heryanti, ‘Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi Di Bidang Perdagangan’ (2011) 3 Jurnal Dinamika Sosbud.[48; 50].

Komariah, ‘Analisis Yuridis PerMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Proses Mediasi’ (2012) 20 Jurnal Ilmiah Hukum.; Faiz Mufidi dan Sri Pursetyowati, ‘Penyelesaian Sengketa Medik Di Rumah Sakit’ (2009) 8 Wacana Paramarta.[36-37].

Dedi Afandi, ‘Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis’ (2009) 59 Majalah Kedokteran Indonesia.[189-190].

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-30-1999-arbitrase-alternatif-penyelesaian-sengketa, diakses 09/03/2022


Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH “WADHIH AL-DILALAH DAN WADHIH GHAIR AL-DILALAH “

BAHAN BAKAR ALTERNATIF Penjelasan, Contoh dan Cara membuatnya

Contoh surat perjanjian Dagang Resmi Syariah